Latest News

Saturday, February 2, 2019

Sorga di bawah telapak kaki ibu


Sorga di bawah telapak kaki ibu

“Surga itu di bawah telapak kaki ibu” adalah peribahasa atau kiasan betapa kita wajib mentaati dan berbakti pada ibu, mendahulukan kepentingan beliau, mengalahkan kepentingan pribadi kita, hingga diibaratkan letak diri kita bagaikan debu yang ada di bawah telapak kakinya bila kita ingin meraih Surga.

Urusannya menjadi panjang ketika Allah mengambil seorang wanita utk menjadi ibu FirmanNya yg menjadi manusia. Yohanes menulis: “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah.” (Yoh 1:1) dan selanjutnya ia menulis “Firman itu telah menjadi manusia” (Yoh 1:14). Ia menjadi manusia lewat rahim seorang wanita, bernama Maria. Ketika malaikat Gabriel datang kepada Maria untuk mewartakan kehamilannya, Gabriel berkata: “Hendaklah engkau menamai dia Yesus.” (Luk 1:31). Jadi, Firman Allah itulah jati diri Yesus.

Kalau manusia berdosa seperti kita saja tahu bahwa berbakti kepada ibu itu suatu keutamaan yang mulia, apalagi Yesus. Maka mengikuti teladan Yesus, orang Katolik memberikan penghormatan khusus kepada Maria. Apalagi secara eksplisit Yesus sendiri menyerahkan Maria sebagai ibu kita, murid-muridNya: “Inilah ibumu!” (Yoh 19:25-28).

https://youtu.be/5uF1DMI8_h0

Website :
https://www.komkatkaj.org/katekese-digital4-maria-bunda-kristus-bunda-kita/

KEBEBASAN KEGIATAN IBADAH UMAT BERAGAMA


Jaminan KEBEBASAN KEGIATAN IBADAH UMAT BERAGAMA Di NKRI

Menteri Agama Lukman Hakim Saefuddin Menegaskan Bahwa Rumah Atau Tempat Tinggal Boleh Dijadikan Tempat Melaksanakan Aktivitas Keagamaan .

"Tidak terhindarkan, ya, jika ada kegiatan-kegiatan keagamaan di rumah kita," ujar Lukman di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Senin (12/2/2018).

Sebaliknya, hal yang tak diperbolehkan adalah mengubah fungsi rumah atau tempat tinggal menjadi tempat ibadah tanpa prosedur .

"Yang tidak boleh itu adalah menjadikan rumah kita sebagai tempat ibadah. Sebab, tempat ibadah itu ada ketentuan-ketentuan tersendiri," lanjut dia.

Lukman Menegaskan , Bangsa Indonesia Merupakan Bangsa Religius . Masyarakat Tak Bisa Dipisahkan Dengan Aktivitas Keagamaan . Oleh Sebab itu , Tidak Mungkin Melarang Masyarakat Melaksanakan Kegiatan Keagamaan Di Rumah .

"Kita Mau Masuk Rumah saja Berdoa , Mau Makan Berdoa , Dan Seterusnya . Maka, ya, itu tadi, Kegiatan Keagamaan Di Rumah Tidak Terhindarkan," lanjut dia .

Ia berharap Masyarakat Indonesia Mengerti Hal Ini .


http://nasional.kompas.com/read/2018/02/12/06145791/menag-penyerangan-pemuka-agama-tidak-dibenarkan-dengan-alasan-apapun

http://nasional.kompas.com/read/2018/02/10/21323471/jokowi-harap-pemuka-agama-beri-teladan-berinteraksi-dengan-pemeluk-agama

http://nasional.kompas.com/read/2018/02/12/18044161/menag-tegaskan-aktivitas-keagamaan-boleh-digelar-di-rumah


https://www.facebook.com/KementerianAgamaRI/

https://kemenag.go.id/berita/read/506847/menag--enam-rumusan-etika-kerukunan-penting-ditaati-umat-beragama

"Rumusan Ini Penting Dipahami Dan Ditaati Dalam Menjaga Kerukunan Indonesia yang Majemuk," tegasnya .

Berikut Ini 6 (Enam) Rumusan Pandangan Dan Sikap Umat Beragama Tentang Etika Kerukunan Antar Umat Beragama :

1. Setiap Pemeluk Agama Memandang Pemeluk Agama Lain Sebagai Sesama Makhluk Ciptaan Tuhan Dan Saudara Sebangsa .

2. Setiap Pemeluk Agama Memperlakukan Pemeluk Agama Lain Dengan Niat Dan Sikap Baik , Empati , Penuh Kasih Sayang , Dan Sikap Saling Menghormati .

3. Setiap Pemeluk Agama Bersama Pemeluk Agama Lain Mengembangkan Dialog Dan Kerjasama Kemanusiaan Untuk Kemajuan Bangsa .

4. Setiap Pemeluk Agama Tidak Memandang Agama Orang Lain Dari Sudut Pandangnya Sendiri Dan Tidak Mencampuri Urusan Internal Agama Lain .

5. Setiap Pemeluk Agama Menerima Dan Menghormati Persamaan Dan Perbedaan Masing-Masing Agama Dan Tidak Mencampuri Wilayah Doktrin/Akidah/Keyakinan Dan Praktik Peribadatan Agama Lain .

6. Setiap Pemeluk Agama Berkomitmen Bahwa Kerukunan Antar Umat Beragama Tidak Menghalangi Penyiaran Agama , Dan Penyiaran Agama Tidak Menggangu Kerukunan Antar Umat Beragama .

Wednesday, January 2, 2019

Jadi Memang Ada Keselamatan di Luar Gereja: Ini Penjelasan Lengkapnya!


Apakah dogma Extra Ecclesiam Nulla Salus (EENS) masih dipakai sampai sekarang dan apakah masih sesuai dengan konteks zaman ini?
Michelline, Jakarta
Pertama, ungkapan Extra Ecclesiam Nulla Salus (EENS), ‘di luar Gereja tidak ada keselamatan’, bukanlah sebuah dogma dalam arti modern. Ungkapan ini berasal dari St Siprianus dari Karthago pada abad ketiga dan muncul dalam dokumen resmi Konsili Lateran IV (1215). Ungkapan ini mengajarkan bahwa semua keselamatan datang dari Yesus Kristus sebagai Kepala, dan disalurkan melalui Gereja sebagai Tubuh Mistik-Nya.
Dalam perkembangan sejarah, banyak Bapa Gereja maupun orang kudus yang memberi komentar dan penafsiran atas ungkapan ini. Konsili Vatikan II tidak menganulir ajaran ini (LG Art. 14), tetapi memberikan penafsiran resmi dengan dua perubahan penting. Ajaran resmi ini kemudian dituangkan dalam Katekismus No. 846-848.
Kedua, perubahan pertama. Sampai sebelum Konsili Vatikan II, yang dimaksud sebagai Gereja Kristus itu tidak lain adalah Gereja Katolik, sehingga Gereja Katolik adalah satu-satunya sarana eklesial untuk keselamatan. Melalui konstitusi dogmatis Lumen Gentium (LG) dan Dekrit tentang ekumenisme Unitatis Redintegratio (UR), Konsili Vatikan II membuat suatu perubahan besar. Konsili mengajarkan bahwa Gereja Kristus tidaklah identik dengan Gereja Katolik, melainkan ada di dalam (subsistit in) Gereja Katolik (LG Art. 8).
Ini berarti bahwa Gereja Katolik mengakui adanya kenyataan eklesial di dalam Gereja-gereja dan komunitas Kristiani lainnya. Mereka ini berada dalam persekutuan dengan Gereja Katolik, sungguhpun tidak sempurna. Karena itu, ada unsur-unsur pengudusan dan kebenaran yang hadir dan bekerja di dalam Gereja atau komunitas Kristiani ini yang membawa kepada keselamatan (UR Art. 3). Namun demikian, tetap diakui bahwa kepenuhan sarana keselamatan hanya ditemukan di dalam Gereja Katolik, karena itu tetap berlaku panggilan untuk menyatukan diri dengan Gereja Katolik (LG Art. 14).
Ketiga, perubahan mendasar kedua berkaitan dengan mereka yang berada di luar (extra Ecclesiam). Konsili mengubah pengandaian dasarnya, yaitu dari pengandaian bersalah (seperti pada penafsiran-penafsiran di Abad Pertengahan) menjadi pengandaian tidak bersalah (bdk LG Art. 14 dan 16; GS Art. 22). Pengandaian tidak bersalah ini berlaku baik untuk Gereja-gereja Kristiani non-Katolik maupun untuk mereka yang bukan Kristiani. Jika mereka tidak bersalah, maka mereka akan diselamatkan, tetapi pasti haruslah melalui Yesus Kristus dan melalui Gereja. Bagaimana hubungan dengan Gereja ini?
Bagi anggota Gereja-gereja Kristiani non-Katolik, mereka terkait dengan Gereja Katolik karena adanya unsur-unsur pengudusan dan kebenaran yang
mereka emban. Untuk mereka yang berada di luar Gereja dan belum memeluk iman Kristiani maupun menerima Sakramen Baptis, Konsili mengatakan bahwa karena satulah asal dan tujuan hidup manusia, maka mereka ini “dengan aneka cara” (LG 13 dan 16; bdk GS 22) terkait dengan Gereja.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa keselamatan mereka itu terkait dengan Gereja Katolik yang di dalamnya berada Gereja Kristus (LG Art. 8). Dengan demikian ajaran Extra Ecclesiam nulla Salus membawa Gereja pada kesadaran akan kewajiban misionernya untuk mewartakan Kristus kepada mereka yang belum mengenal-Nya (LG Art. 1.9.48; GS Art. 45). Karena itulah Gereja Katolik sebagai lembaga tetap merupakan satusatunya lembaga (sakramen) yang ditetapkan oleh Allah dan diutus untuk mewartakan keselamatan. Rahmat Allah yang ditawarkan kepada semua umat manusia terkait dengan tujuan akhir keberadaan Gereja. Karena itu adalah panggilan Gereja untuk mewujudkan efektivitas kehadirannya.
Petrus Maria Handoko CM
http://majalah.hidupkatolik.com/2017/06/12/5804/keselamatan-di-luar-gereja-2/

Recent Post